Travelling, britaduatiga.com – 6 Budaya Ini Punya Lebih dari Dua Gender – Halo, para pembaca kece dan penasaran! Siap-siap ya, karena kita akan jalan-jalan bukan ke tempat wisata, tapi ke enam budaya kece dari seluruh dunia yang udah lama bilang, “Laki-laki dan perempuan aja? Duh, sempit amat!”
Zaman sekarang, banyak orang mulai sadar bahwa gender itu bukan cuma dua. Tapi, tahukah kamu kalau beberapa budaya tradisional udah lebih dulu paham dan menghormati keberagaman identitas ini? Mereka bahkan punya sistem sosial dan spiritual yang mengakui keberadaan gender nonbiner alias mereka yang tidak hanya laki-laki atau perempuan. Yuk, kita kupas satu-satu kenapa 6 budaya ini punya lebih dari dua gender dan apa pelajaran yang bisa kita ambil dari mereka!
Apa Itu Gender Nonbiner?
Gender nonbiner adalah identitas gender yang tidak masuk ke dalam kategori biner: laki-laki atau perempuan. Nah, orang-orang nonbiner ini bisa memiliki kombinasi maskulin dan feminin, atau bahkan tidak terikat sama sekali dengan dua label itu. Kalau ibarat warna, laki-laki dan perempuan itu kayak hitam dan putih, tapi nonbiner itu gradasi warna pelangi di antaranya. Nggak bisa dibatasi sesederhana itu.
Dan lucunya, budaya modern malah baru heboh belakangan, padahal dulu nenek moyang kita udah paham banget soal keragaman ini.
1. Bissu, Calabai & Calalai – Bugis, Indonesia

Kalau kamu pikir Indonesia itu konservatif banget soal gender, coba kenalan sama suku Bugis di Sulawesi Selatan. Mereka nggak cuma mengenal dua atau tiga gender, tapi LIMA! Dan tiga di antaranya adalah:
Bissu
Bissu adalah tokoh spiritual yang dianggap mewakili keseimbangan maskulin dan feminin. Mereka nggak cuma diakui, tapi juga dihormati banget. Dalam upacara adat, Bissu jadi jembatan antara dunia manusia dan dunia spiritual. Mereka memakai bunga dan membawa keris suci—simbol kekuatan dan keseimbangan.
Calabai
Calabai adalah orang dengan jenis kelamin laki-laki yang mengekspresikan diri sebagai perempuan, tapi tidak sepenuhnya mengidentifikasi sebagai wanita. Mereka biasanya terlibat dalam upacara pernikahan dan punya peran penting sebagai penata acara.
Calalai
Nah kalau Calalai, kebalikannya. Mereka dilahirkan perempuan tapi berperilaku maskulin dan menjalankan peran sosial layaknya laki-laki, seperti menjadi petani atau pemimpin komunitas. Dan kerennya, mereka tetap dihormati oleh masyarakat!
Apa pelajarannya? Suku Bugis ngajarin kita bahwa gender bukan soal hitam putih. Mereka lihat gender sebagai spektrum yang kompleks, kaya makna, dan sangat spiritual.
2. Hijra – India

Pernah denger tentang Hijra? Di India, Hijra bukan cuma kelompok sosial, tapi juga punya tempat dalam teks-teks agama Hindu. Banyak dari mereka adalah laki-laki secara biologis, tapi mengidentifikasi di luar kategori laki-laki dan perempuan.
Hijra biasanya hidup dalam komunitas sendiri dan menjalani pelatihan spiritual. Mereka punya peran khusus dalam masyarakat datang di pernikahan atau kelahiran untuk memberkati. Ada kepercayaan bahwa mereka punya kekuatan supranatural untuk memberkati atau mengutuk. Gokil!
Tapi, sayangnya kolonialisme Inggris tahun 1871 pernah mengategorikan mereka sebagai “kriminal” hanya karena identitas mereka. Meski begitu, pada tahun 2014, India, Nepal, dan Bangladesh akhirnya mengakui hak-hak mereka secara hukum.
Apa pelajarannya? Meski sempat ditindas, Hijra tetap bertahan dan kini bangkit kembali. Ini bukti bahwa identitas yang kuat bisa bertahan bahkan melawan sejarah kelam.
3. Muxe – Zapotec, Meksiko

Bayangin kamu hidup di tengah masyarakat yang dari kecil udah bilang, “Jadilah dirimu sendiri!” Nah, gitu kira-kira lingkungan para Muxes di komunitas Zapotec, Oaxaca.
Muxes adalah laki-laki secara biologis tapi mengekspresikan identitas feminin. Mereka bukan transgender dalam definisi medis, tapi sebuah identitas budaya yang khas.
Setiap tahun, ada festival besar buat merayakan mereka: La Vela de las Intrépidas Buscadoras del Peligro. Nggak main-main, ini semacam malam gala penuh glitter, tari, dan penghormatan.
Tapi hidup Muxes juga nggak selalu penuh warna. Mereka sering nggak boleh hidup bersama pasangan atau harus tinggal di rumah orang tua sampai tua. Dilema antara penghormatan budaya dan tekanan sosial masih terus mereka hadapi.
Apa pelajarannya? Menjadi beda bukan berarti ditolak, tapi terkadang artinya kamu harus lebih berani untuk tetap berdiri tegak.
4. Sekrata – Madagaskar

Dari Afrika, kita meluncur ke suku Sakalava di Madagaskar. Di sana ada yang namanya Sekrata. Mereka adalah laki-laki yang menunjukkan perilaku feminin sejak kecil dan kemudian dibesarkan sebagai perempuan.
Mereka mengenakan perhiasan, berdandan feminin, dan punya peran sosial unik seperti tampil dalam upacara adat. Bahkan dianggap sakral dan dilindungi oleh kekuatan supranatural!
Dalam masyarakat mereka, Sekrata bukan hanya diterima, tapi juga dihormati. Sebuah penghormatan terhadap keragaman sejak dini.
Apa pelajarannya? Saat anak menunjukkan ekspresi diri yang berbeda, masyarakat Sakalava justru mendukung dan merayakannya, bukan memaksa untuk “kembali ke jalur yang benar”.
5. Two-Spirit – Suku Asli Amerika Utara

Nama mereka aja udah puitis: Two-Spirit. Mereka adalah orang dalam komunitas Pribumi Amerika yang dipercaya memiliki jiwa laki-laki dan perempuan.
Peran mereka sangat spesial: penenun, penyembuh, pemimpin upacara, bahkan juru damai. Two-Spirit dianggap mampu melihat dunia dari dua sisi sekaligus. Bukan kutukan, tapi anugerah.
Sayangnya, kolonialisasi mencoba memusnahkan budaya ini. Tapi sejak 1990, istilah Two-Spirit dihidupkan kembali dan menjadi simbol kebanggaan bagi banyak komunitas.
Apa pelajarannya? Kadang yang dianggap “aneh” oleh dunia luar justru adalah kekuatan yang menyatukan komunitas dari dalam.
6. Bakla – Filipina

Yuk terbang ke Filipina! Di sana ada Bakla orang yang lahir sebagai laki-laki tapi mengekspresikan diri secara feminin.
Bakla sering jadi entertainer, seniman, bahkan tokoh masyarakat. Identitas mereka kadang tumpang tindih antara gender dan orientasi seksual, tapi yang jelas, mereka punya tempat tersendiri dalam budaya.
Setelah kolonialisme Barat masuk, penerimaan terhadap bakla sempat merosot. Tapi mereka tetap eksis, kuat, dan kini menjadi bagian penting dari budaya populer di Filipina.
Apa pelajarannya? Jangan remehkan kekuatan ekspresi diri. Bakla menunjukkan bahwa menjadi otentik itu nggak cuma soal keberanian, tapi juga warisan budaya.
Kesamaan dari Semua Budaya Ini
Kalau kita tarik garis merah, keenam budaya ini punya satu benang yang nyambung:
- Mereka menganggap gender sebagai bagian dari spiritualitas.
- Gender nonbiner punya fungsi sosial yang penting, bukan cuma “penyimpangan”.
- Mereka eksis jauh sebelum istilah LGBTQ+ muncul di dunia modern.
- Dan yang paling penting: mereka menghargai keragaman, bukan memaksakan keseragaman.
Pesan Penting Buat Kita
Kita hidup di era yang katanya modern, tapi kadang malah mundur dalam soal toleransi. Padahal budaya-budaya ini sudah lebih dulu ngajarin cara hidup yang inklusif dan penuh cinta.
Jangan buru-buru bilang “tabu” hanya karena sesuatu terlihat beda. Mungkin, justru dari yang beda itulah kita belajar soal kesetaraan, empati, dan penghormatan.
Yuk Belajar dari Mereka!
Kamu udah baca sampai sini? Keren! Sekarang saatnya kamu jadi bagian dari gerakan pengetahuan ini:
Bagikan artikel ini ke teman-temanmu, biar makin banyak yang tahu kalau dunia nggak cuma soal dua warna.
Follow blog ini buat dapat konten budaya, edukasi, dan cerita inspiratif lainnya.
Punya pengalaman soal gender, budaya, atau identitas? Drop di komentar ya! Siapa tahu cerita kamu bisa menginspirasi dunia
Ingat: Dunia ini luas, dan warna-warni itu indah. Jangan biarkan satu warna menghapus warna lainnya.
“Menjadi diri sendiri bukanlah sebuah dosa kadang, itu justru bentuk tertinggi dari pujian untuk Sang Pencipta.” – (bd)**