Sebuah Realitas yang Mengguncang
Aceh, britaduatiga.com – Mentari pagi menyingsing di ufuk timur, membawa secercah harapan bagi dunia yang terus berputar. Namun, di sudut provinsi Aceh yang menerapkan hukum Syariah secara ketat, nasib dua mahasiswa berusia 18 dan 24 tahun terukir dalam goresan pahit. Tragedi LGBTQ+ di bawah hukum Syariah Aceh kembali mengundang tanda tanya besar: sampai kapan hukum dan kemanusiaan berjalan di jalur yang berbeda?
Hukuman di Tengah Sorotan Publik

Siapa yang Terlibat?
Dua mahasiswa yang tertangkap dalam penangkapan warga menjadi pusat perhatian setelah dinyatakan bersalah atas hubungan sesama jenis/LGBTQ+ oleh pengadilan Syariah Aceh.
Apa yang Terjadi?
Pada 7 November 2024, warga yang curiga membobol kamar sewaan mereka, menemukan keduanya dalam kondisi telanjang dan berpelukan. Mereka lantas diseret ke hadapan polisi Syariah, yang kemudian mengadili mereka berdasarkan hukum Islam.
Di Mana dan Kapan Kejadian Ini Berlangsung?
Eksekusi hukuman cambuk berlangsung di sebuah taman di ibu kota provinsi Banda Aceh. Di hadapan puluhan saksi, termasuk anggota keluarga, keduanya menerima hukuman cambuk: satu menerima 77 cambukan, sementara yang lain mendapat 82 cambukan.
Mengapa Mereka Dicambuk?
Pengadilan Syariah memvonis keduanya atas tindakan yang dianggap melanggar hukum Islam. Meskipun vonis maksimal mencapai 100 cambukan, hukuman mereka dikurangi karena faktor seperti rekam jejak akademik yang baik, sikap kooperatif, serta ketiadaan catatan kriminal sebelumnya.
Bagaimana Tanggapan Publik dan Aktivis HAM?
Berbagai organisasi hak asasi manusia mengecam tindakan ini sebagai bentuk diskriminasi yang merendahkan martabat manusia. Amnesty International mengutuk hukuman tersebut sebagai “kejam, tidak manusiawi, dan melanggar hak asasi manusia.” Para aktivis menyerukan agar pemerintah Aceh dan pemerintah pusat Indonesia meninjau kembali hukum Syariah yang memperbolehkan hukuman semacam ini.
Hukum Syariah Aceh dan Dampaknya

Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Syariah secara formal. Beberapa pelanggaran yang diatur dalam hukum ini meliputi zina, konsumsi alkohol, perjudian, dan hubungan sesama jenis. Hukuman cambuk menjadi metode utama penegakan hukum, yang mendapat dukungan luas dari masyarakat setempat.
Namun, dunia internasional terus mempertanyakan apakah sistem hukum ini selaras dengan hak asasi manusia. Banyak pihak berpendapat bahwa hukum Syariah di Aceh kerap digunakan untuk mengontrol moralitas individu, sering kali dengan mengorbankan hak privasi dan kebebasan sipil.
Masa Depan LGBTQ+ di Aceh, jadi Harapan atau Kehampaan?

Hari ini, dua mahasiswa telah menerima hukuman mereka, tetapi pertanyaan yang lebih besar tetap menggantung di udara: apakah ini akhir dari kisah serupa, atau justru awal dari tragedi yang terus berulang? Di tengah dunia yang semakin menuntut kebebasan dan kesetaraan, Aceh masih berdiri dalam bayang-bayang hukum yang kontroversial.
Pemerintah pusat di Jakarta memiliki tugas besar untuk meninjau kembali kebijakan otonomi daerah agar tidak mengorbankan hak-hak dasar warganya. Jika keadilan adalah cahaya, maka hukuman yang melukai haruslah diperbincangkan ulang. Saatnya hukum berpihak pada keadilan yang tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi juga hidup dalam nurani.
Di mana ada penindasan, di sana ada suara yang harus diperjuangkan. Mari bersuara untuk keadilan, karena diam bukanlah pilihan. – (bd)**
source : berbagai sumber