Kelompok Agama & LGBTQ+ Geram
britaduatiga.com, Religi Internasional – Perlindungan Diskriminasi Agama Terabaikan – Di tengah riuhnya malam yang tenang, ketika secangkir teh hangat menjadi teman setia, kabar mengejutkan datang dari dunia yang penuh harapan dan tantangan. Seperti angin yang tiba-tiba berubah arah, keputusan pemerintah untuk menunda perlindungan diskriminasi agama mengguncang hati banyak pihak, meninggalkan jejak amarah dan kekecewaan di kalangan komunitas agama dan LGBTQ+.
Pemerintah Albanese di Tengah Kritik karena Membatalkan Rencana Reformasi Undang-Undang Diskriminasi
Pada malam yang tenang, ketika banyak orang menikmati waktu bersantai di media sosial dengan ditemani segelas teh dan sepotong kue, dunia kembali dikejutkan oleh keputusan mengejutkan Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese. Dalam sebuah keputusan yang tak terduga, Albanese memilih untuk membatalkan rencana reformasi yang telah lama dinantikan, yang bertujuan untuk menghapus pengecualian hukum yang memungkinkan sekolah berbasis agama melakukan diskriminasi terhadap staf dan siswa berdasarkan jenis kelamin atau orientasi seksual mereka.
Kekecewaan Aktivis LGBTQ+ Terhadap Keputusan Perdana Menteri
James Elliot-Watson, seorang pegiat kesetaraan yang pernah merasakan pahitnya diskriminasi di sekolah Kristen karena menjadi gay, meluapkan kekecewaannya atas keputusan ini. Dalam bayang-bayang malam yang sunyi, ia mencela langkah Perdana Menteri dengan kata-kata pedas, menyebutnya sebagai tindakan yang “tak punya nyali”. Bagi Elliot-Watson, keputusan ini bukan hanya sebuah kemunduran, tetapi juga ancaman nyata bagi kesejahteraan kaum muda LGBTQ+ di Australia.
Ia mengisahkan kembali bagaimana dirinya pernah dilarang menjadi prefek di sekolahnya setelah mengungkapkan perjuangannya dengan seksualitas kepada seorang guru. Pengalaman ini begitu mendalam hingga ia harus menghabiskan ribuan dolar dan ratusan jam terapi untuk pulih. “Hidupku dipertaruhkan di sini,” ujarnya dengan nada yang sarat emosi.
Albanese Mundur dari Kontroversi
Pada pemilihan umum terakhir, Partai Buruh maju dengan janji memperkenalkan undang-undang diskriminasi agama yang tidak hanya meningkatkan perlindungan bagi orang beragama, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap kaum LGBTQ+ di sekolah. Namun, harapan itu seolah-olah memudar dalam senyap. Albanese menyatakan bahwa waktu untuk memperkenalkan undang-undang kontroversial tersebut telah berlalu, sebuah keputusan yang tak pelak menimbulkan kekecewaan di kalangan kelompok LGBTQ+ dan agama yang sudah lama mendambakan penyelesaian masalah ini.
“Saya tidak berniat untuk terlibat dalam perdebatan partisan terkait diskriminasi agama,” kata Albanese di hadapan para wartawan, sembari menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk menghindari perdebatan yang berpotensi memecah belah masyarakat di saat ketegangan sosial sudah tinggi.
Dampak Keputusan Terhadap Komunitas dan Sekolah Berbasis Agama
Keputusan untuk tidak melanjutkan reformasi ini tidak hanya mengecewakan kelompok advokasi LGBTQ+, tetapi juga komunitas agama. Uskup Agung Melbourne, Peter Comensoli, yang sebelumnya terlibat dalam diskusi dengan pemerintah dan oposisi terkait undang-undang ini, menyatakan keprihatinannya. Ia meminta agar perlindungan bagi orang-orang beriman tidak dikurangi dengan keputusan ini.
Di sisi lain, sekolah-sekolah Kristen di Australia merasa keputusan ini adalah sebuah kesempatan yang hilang untuk memberlakukan perlindungan yang telah lama mereka dambakan. Mereka mengingatkan bahwa kesempatan bersejarah untuk maju seharusnya tidak disia-siakan. “Kita sudah memberikan cara yang jelas untuk maju yang akan mempersatukan orang-orang beriman,” ujar Mark Spencer, direktur kebijakan publik dari sekolah-sekolah Kristen.
Isu Diskriminasi Agama yang Tak Kunjung Usai
Masalah perlindungan hukum bagi keyakinan agama ini sebenarnya telah muncul sejak lama, tepatnya setelah plebisit pernikahan sesama jenis pada tahun 2017. Pemerintahan Turnbull kala itu setuju untuk mempertimbangkan undang-undang diskriminasi agama sebagai upaya menenangkan politisi konservatif yang menentang pernikahan sesama jenis. Namun, sejak saat itu, isu ini terus menjadi perdebatan yang belum menemukan titik terang.
Awal tahun ini, Komisi Reformasi Hukum Australia merekomendasikan pencabutan pengecualian dalam Undang-Undang Diskriminasi Seksual yang memungkinkan sekolah berbasis agama melakukan diskriminasi terhadap siswa dan guru berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, atau status hubungan mereka. Bagi banyak orang, rekomendasi ini adalah harapan baru, namun keputusan Tn. Albanese untuk menunda reformasi tersebut menjadi pukulan telak bagi mereka yang berharap akan perubahan.
Penutup
Di akhir malam yang penuh dengan kekecewaan, suara-suara seperti Elliot-Watson mengingatkan kita bahwa hukum yang tak bertindak sesuai tugasnya hanya akan membuat lebih banyak nyawa yang tersia-sia. Saat malam semakin larut, harapan akan kesetaraan dan keadilan tetap menggantung di udara, menunggu waktu yang tepat untuk kembali dihidupkan. (yb)**
Writer & Editor : yakang bloger
Source : berbagai sumber luar negeri